SEJARAH

SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

Keberadaan Polisi Pamong Praja pada era Kolonial sejak VOC tahun 1860 menduduki Batavia dibawah pimpinan Gubernur Jendral PIETER BOTH, bahwa kebutuhan untuk memelihara Ketentraman dan Ketertiban penduduk diperlukan, karena pada waktu itu kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis dari pasukan lokal dan tentara Inggris serta meningkatnya gangguan penduduk yang berupa pencurian, perampokan dan perkelahian. Untuk menyikapi hal itu, VOC membentuk BAILLUW, semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dan warga serta menjaga Ketertiban dan Ketentraman warga.

Pada masa pasca Gubenur Jendral RAAFLES, BAILLUW dikembangkan dengan dibentuk satuan yang lainnya yang disebut BESTUURS POLITIE atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di tingkat Kawedanan untuk tugas Ketertiban dan Ketentraman / Keamanan. Selanjutnya menjelang akhir era kolonial, dalam hal ini pada masa penjajahan Jepang, organisasi kepolisian mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian, Polisi Pamong Praja bencampur baur fungsi dengan kemiliteran.

Pada masa kemerdekaan yang tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi Kepolisian karena belum ada secara definitif mengalami beberapa pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama.

Pada tahun 1950 secara konstitusional ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Up. 32/2/21 tanggal 3 Maret 1950 secara resmi dengan sebutan “Satuan Polisi Pamong Praja”

  • Undang-undang No. 22 Tahun 1999, Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Aparat Pemerintah Daerah (Desentralisasi).
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja;
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja;
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja;
  • Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja;
  • Peraturan Walikota Nomor 68 Tahun 2012 tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja;

UPT. PEMADAM KEBAKARAN

“PANTANG PULANG SEBELUM PADAM” adalah Slogan korps berbaju biru, para kesatria penantang api. Bekerja selama 24 jam, senjata mereka berpeluru air, dengan baju dan helm tahan api. Menjinakkan amuk si jago merah adalah pekerjaan mereka. Jangankan di tengah kota, kebakaran di pojok-pojok perkampungan pun mereka ada.

Korps pemadam di Indonesia sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Bersama polisi, mereka disebut-sebut sebagai institusi elite pengaman kota. Berdasar catatan dalam buku Dari BRANDWEER ke Dinas Kebakaran DKI Jakarta, pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk satuan pemadam pada 1873. Korps ini semula bernama Brandweer. Buat menangani masalah kebakaran di Jakarta, secara hukum dibentuk oleh Resident op Batavia melalui ketentuan Reglement op de Brandweer in de Afdeeling stand Vorstenden Van Batavia.

Kebakaran besar di kampung Kramat-Kwitang sebagai penyebab munculnya beleid ini. Musibah itu tidak bisa diatasi oleh pemerintah kota. Kemudian pada 25 Januari 1915 muncul peraturan tentang pemadam kebakaran, yakni Reglement op de Brandweer itu. Jadi kalau dilihat dari sejarah, pemadam kebakaran ini memang sudah disiapkan oleh Belanda.

Salah satu markas pusat pemadam berada di Jalan Kiai Haji Zainul Arifin nomor 71, sekarang Jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Pemadam juga pernah berkantor di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di Jakarta Timur, markas mereka di Jalan Matraman Raya. Mula-mula brandweer tidak memiliki petugas tetap ketika usulan muncul pada awal 1800-an. Baru pada 1850-an, petugas resmi pemadam api dibentuk.

Peralatan mereka kala itu tentu jauh berbeda dengan zaman sekarang. Dulu belum ada mobil tangki berisi berkubik-kubik air. Pemadam api tempo dulu cuma memiliki tangga, alat manual semprot air tangan, serta baju dan helm mirip jas hujan, tidak tahan api. Baju pemadam api dulu justru melindungi badan dari air, bukan dari api.

Konon orang Betawi juga tidak bisa lepas dari sejarah berdirinya pemadam kebakaran ini. Buktinya ada Prasasti Tanda Peringatan Brandweer Batavia 1919-1929, diberikan oleh sekelompok orang Betawi sebagai tanda penghargaan dan terima kasih atas darma bakti para petugas pemadam. Prasasti ini sampai sekarang tersimpan di kantor Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta.

Beginilah bunyi prasasti itu:

“Di dalam masa jang soeda-soeda bahaja api djarang tertjega habis terbakar langgar dan roema tidak memilih tinggi dan renda sepoeloeh tahoen sampai sekarang semendjak Brandweer datang menentang bahaja api moedah terlarang mendjadikan kita berhati girang. Tanda girang dan terima kassi kami semoea orang Betawi menghoedjoekan pada hari jang ini tanda peringatan boekan seperti.”

Betawi, 1 Maret 1929 Dari bunyi prasasti diatas, terutama pada pencantuman angka 1919-1929 dan menunjuk pada paragraf kedua, pada baris pertama dan kedua dianggap sebagai bukti otentik, maka kemudian tanggal 1 maret 1919 ditetapkan sebagai tahun berdirinya organisasi Pemadam Kebakaran DKI Jakarta.

Bukti diatas diperkuat lagi dari data dalam buku dari Branweer Batavia Ke Dinas Kebakaran DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa berkaitan dengan peristiwa kebakaran besar yang tak teratasi pada tahun 1913, maka pada tahun 1919 walikota batavia waktu itu mulai mengorganisir kegiatan pemadam kebakaran, yang ditandai dengan didirikannya kantor Brandweer Batavia didaerah Gambir sekarang.

Perubahan berikutnya terjadi pada tanggal 31 juli 1922 melalui ketentuan yang disebut “Bataviasch Brandweer Reglement”, dan kemudian diikuti perubahan berikutnya, yakni setelah masa pemerintahan Jepang, perubahan itu tercatat pada tanggak 20 April 1943 melalui ketentuan yang dikenal dengan “Osamu seirei No.II” tentang “Syoobootai” (pemadam kebakaran).

Sebelum 1957 – 1969 Masa ini adalah dimana masa organisasi pemadam kebakaran masih menggunakan nomenklatur “barisan pemadam kebakaran (BPK)”. Hal yang patut dicatat dalam masa ini adalah bahwa orientasi tugas pokok BPK sesuai dengan namanya masih terfokus pada upaya pemadam kebakaran. Hal lain, adalah pada tahun 1957 telah dikeluarkan peraturan daerah yang dimuat dalam lembaran kota praja Jakarta No. 22/1957, tanggal 14 Agustus 1957 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 21 Desember 1957. Namun Walikota Praja Jakarta Raya, Sudiro menetapkan masih memberlakukan Staadblad Van Nederlandsche Indie No. 602, 4 Oktober 1917.

MASA 1969 – 1974

Pada tahun 1969, melalui Surat Keputusan Gubernur KDH DKI Jakarta No. ib.3/3/15/1969 nomenklatur Barisan Pemadam Kebakaran dirubah menjadi Dinas Pemadam Kebakaran. Perubahan pada masa ini tidak saja merupakan perubahan nomenklatur, tetapi juga perubahan pada tugas pokok dan fungsi DPK, yakni dengan penambahan nomenklatur Bagian Pencegahan. Hal ini menunjukkan bahwa tugas pokok dan fungsi DPK pada masa ini telah bertambah, yakni mengatur tentang tugas-tugas di bidang pencegahan kebakaran.

MASA 1975 – 1980

Perubahan berikutnya terjadi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur KDH DKI Jakarta No. BIII-b.3/1/5/1975, tenatng perubahan nomenklatur Dinas Pemadam Kebakaran menjadi Dinas Kebakaran. Penghapusan kata “Pemadam” bukan semata-mata ingin mempersingkat nomenklatur organisasi, tetapi dimaksudkan untuk lebih menegaskan bahwa tugas pokok Dinas Kebakaran tidak hanya pada bidang pemadaman saja tetapi juga pada aspek pencegahan kebakaran dan penyelamatan korban jiwa dan akibat kebakaran dan bencana lainnya.

MASA 1980 – 2002

Perubahan nomenklatur organisasi pemadam kebakaran berikutnya terjadi pada tahun 1980, yakni dengan terbitnya Peraturan Daerah No. 9 tahun 1980, tentang struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kebakaran DKI Jakarta. Perubahan penting pada periode ini, selain semakin dikembangkannya aspek pencegahan dan pemberdayaan masyarakat melalui keberadaan Sudinas Pencegahan, Sudinas Peran Serta masyarakat, Pusat Latihan Kebakaran, dan Unit Laboratorium, adalah juga mengenai pembagian wilayah pelayanan Dinas kebakaran ke dalam 5 wilayah asministratif: Jakarta Pusat, Utara, Barat, Selatan, dan Timur. Kemudian terjadi revisi melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.11 tahun 1986, dengan judul sama, hanya terdapat perubahan pada nomenklatur Markas Wilayah menjadi Nomenklatur Suku Dinas.

MASA 2002 – 2008

Masa tahun 2002 ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.9 tahun 2002, tanggal 15 Januari 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pemadam Kebakaran Propinsi DKI Jakarta. Beberapa perubahan yang menonjol pada Skep Gubernur di atas, di antaranya adalah:

  • Dileburnya Bagian Keuangan dan Bagian Kepegawaian ke dalam satu Bagian, yakni Bagian Tata Usaha; sehingga jika pada masa sebelumnya pada jajaran Dinas Pemadam Kebakaran terdapat 17 eselon III, maka melalui perubahan ini berkurang menjadi hanya 15 eselon III;
  • Dibentuknya divisi baru, yakni Subdinas Penyelamatan (Rescue). Hal ini dimaksudkan sebagai jawaban terhadap tantangan kota Jakarta sebagai sebuah kota besar di mana potensi terjadinya bencana massal akan sangat besar dan jenisnya bervariasi (bencana kebakaran, banjir, bangunan runtuh, tumpahan bahan-bahan berbahaya, kecelakaan transportasi, dan lain sebagainya). Oleh karenanya potensi tersebut perlu ditangani oleh satuan petugas khusus yang terlatih dan profesional;
  • Terdapat pengembangan pada tingkat / jajaran Suku Dinas melalui pendekatan konsep Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK); tujuan dari penerapan konsep ini adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dengan memper-sempit daerah/wilayah kerja ke dalam satuan-satuan WMK.

MASA 2008 – Sekarang

Terbitnya Perda No. 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Satuan Perangkat Daerah dan Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah serta Surat Keputusan Gubernur (Skep. Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 96 Tahun 2009 menandai terjadinya perubahan dan sekaligus pengembangan fungsi organisasi ini. Organisasi yang pada masa sebelum ini menggunakan nomenklatur Dinas Pemadam Kebakaran, selanjutnya berubah menjadi : Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana. Dengan bertambahnya fungsi penanggulangan bencana, maka tugas pokok dan fungsi organisasi ini menjadi semakin luas. Organisasi DPK-PB mempunyai 3 tugas pokok, yakni :

  • Pencegahan Kebakaran
  • Pemadaman Kebakaran, dan
  • Penyelamatan Jiwa dan ancaman kebakaran dan bencana lain.

PERLINDUNGAN MASYARAKAT

Sejarah perkembangan masyarakat dan bangsa kita telah membuktikan bahwa kehadiran Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat ditengah-tengah masyarakat sangatlah penting dan kontribusi yang telah diberikan kepada masyarakat dan bangsa selama ini sangat dirasakan secara positif. Satuan Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat tidak saja tampil dalam keseharian kehidupan masyarakat saja, tetapi juga dalam momen-momen strategis yang bersifat nasional seperti Pemilihan Umum, oleh sebab itulah kiranya tidaklah berlebihan bila secara khusus jajaran Pemerintah daerah khususnya jajaran Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat memberikan atensi yang besar terhadap pengembangan Satuan tersebut baik dalam kaitan pengembangan kelembagaannya maupun dalam konteks pengembangan sumber daya manusianya.

Secara historis Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat mempunyai sejarah yang sangat panjang baik dalam tataran universal maupun dalam tataran nasional dan usia Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat juga hampir sama dengan usia kemerdekaan Republik Indonesia, yang secara formal diperingati setiap tanggal 19 April yang pada tahun 2013 Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat genap berusia 51 tahun dan bila dilihat dari sejarah kelahirannya Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat jauh lebih tua.

Hal ini dapat dilihat dari fase-fase perkembangan Pertahanan Sipil / Perlindungan Masyarakat yang dimulai dari fase sebelum kemerdekaan sampai kepada fase kemerdekaan sebagai berikut :

Periode sebelum Kemerdekaan (1935 – 1945)

  1. Tahun 1939 (jaman Hindia Belanda) terbentuk Lught Buscherming Dients (LBD) sebagai wadah partisipasi rakyat Indonesia, dalam upaya perlindungan dan penyelamatan dari bencana akibat perang.
  2. Pada jaman pejajahan Jepang (LBD) disempurnakan menjadi GUMI atau Rukun Tetangga yang merupakan embrio Pertahanan Sipil.

Periode Kemerdekaan (1945 – sekarang)

  1. Dalam menghadapi berbagai pemberontakan dalam negeri telah dibentuk Organisasi Keamanan Desa (OKD) dan Pasukan Keamanan Desa (PKD) yang kemudian diintegrasikan menjadi Organisasi Perla-wanan Rakyat (WANRA) sebagai cikal bakal Pertahanan Sipil.
  2. Pada tanggal 20 Mei 1960, Indonesia secara resmi terdaftar sebagai anggota Internasional Civil Defence Organisation (ICDO), yang kemudian mengilhami pembentukan organisasi Pertahanan Sipil secara formal pada tangal 19 April 1962 yang selanjutnya kita jadikan sebagai Hari Ulang Tahun Pertahanan Sipil (HUT HANSIP).
  3. Pada tahun 1972, berdasarkan keppres No. 55 Tahun 1972, organisasi Pertahanan Sipil disempurnakan menjadi organisasi Pertahanan Sipil (HANSIP) dan organisasi Perlawanan Rakyat dan Keamanan Rakyat (WANKAMRA) dalam rangka penertiban pelaksanaan system Hankamrata. Sesuai dengan Keppres tersebut, fungsi utama Pertahanan Sipil meliputi bidang-bidang Perlindungan Masyarakat, Bidang Ketahanan Nasional, Bidang Pemerintahan dan kesejahteraan rakyat, Bidang Produksi.
  4. Berdasarkan Keppres No.56 Tahun 1972, pembinaan organisasi Pertahanan SIpil yang bersifat non kombatan diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri, sementara pembinaan organisasi perlawanan rakyat dan keamanan rakyat yang bersifat kombatan tetap berada di Departemen Pertahanan Keamanan.
  5. Dengan Keppres No. 55 dan 56 Tahun 1972 itulah kita melakukan pembinaan atas organisasi Pertahanan Sipil kita selama ini, kedua Keppres tersebut hingga kini belum pernah dirubah ataupun dicabut. Sebagai tindak lanjut dari dua Keppres di atas, Menhankam / Pangab dan Mendagri dengan Keputusan Bersama Nomor Kep/37/IX/1975 dan Nomor 240 A Tahun 1975 telah menggariskan bahwa tugas pokok Hansip, Kamra dan Wanra adalah: Hansip membantu dan memperkuat pelaksanaan Hankamnas di bidang Perlindungan Masyarakat, Kamra membantu Polri dalam tugasnya dibidang Pemeliharaan Kamtibmas serta operasi Kamtibmas, Wanra membantu TNI dalam tugas operasi militer, baik dalam rangka operasi.
  6. Ditetapkannya UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan dan Keamanan Negara telah berakibat kepada terjadinya perubahan dalam kebijakan pembinaan organisasi Pertahanan Sipil. Dalam UU No. 20 tahun 1982 digariskan bahwa komponen pertahahan Negara terdiri dari: Komponen utama yaitu TNI dan cadangan TNI, Komponen dasar yaitu rakyat terlatih (Ratih) yang terdiri dari Wanra, Kamra, Linra, dan Tibum yang semuanya bersifat kombatan, Komponen pendukung, yaitu sarana dan prasarana nasional, Komponen khusus, yaitu Perlindungan Masya-rakat (LINMAS) yang bersifat non kombatan. 
  7. Dengan UU No 20 Tahun 1982 tersebut sesungguhnya keberadaan Pertahanan Sipil dengan fungsi Perlindungan Masyarakat semakin mendapatkan landasan yuridis yang kuat, tidak saja sebagai fungsi tetapi juga Satuan dengan posisinya sebagai komponen khusus pertahanan Negara.
  8. Proses reformasi kemudian membawa implikasi yang signifikan bagi eksistensi Pertahanan Sipil. Perubahan paradigma di bidang pertahanan dan keamanan antara lain dalam bentuk pemisahan TNI dan POLRI, telah menghasilkan perubahan UU No. 20 Tahun 1982 menjadi UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
  9. Dalam dua UU tersebut, baik pada UU No. 2 Tahun 2002 maupun UU No. 3 Tahun 2002, keberadaan Perlindungan Masyarakat tidak lagi secara tegas disebutkan. UU No. 3 Tahun 2002 hanya mengatur bahwa komponen-komponen Pertahanan Negara dalam mengahadapi bahaya ancaman militer dan non militer terdiri atas tiga komponen yaitu: komponen Utama, Cadangan, dan Pendukung yang masing-masing komponen akan diatur dengan UU.
  10. Dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 13 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi diantara-nya adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat termasuk di dalamnya linmas, maka dengan demikian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijadikan landasan yang kuat bagi eksistensi keberadaan Hansip / Linmas Kota Malang pada saat sekarang.